SCM

Tuesday, 10 January 2017

Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentrisme





Pada kesempatan ini saya akan membahas tentang Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentrisme.

Dikutip dari Wikipedia, Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut.

Dikutip dari Wikipedia, Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. 

Dikutip dari Wikipedia, Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri.

Sekarang jika anda telah mengetahui arti dari topik yang akan saya bahas, maka kita akan lanjut ke artikel berita yang akan saya bahas.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, seorang penduduk Yogyakarta berusia 60-an, berupaya menghubungi Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak kepemilikan tanah di kota kelahirannya yang ia anggap diskriminatif.

Siput Lokasari mulai mengontak Sultan beberapa bulan lalu untuk meminta Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ini membatalkan Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan pada 1975 lalu, berisi larangan warga nonpribumi memiliki tanah.

"Kenapa harus ada diskriminasi ras... Orang Tionghoa bekerja setengah mati mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan beli tanah hak milik, kenapa hak milik dipaksa untuk dirampas dikembalikan ke negara dan orang tersebut diberi hak sewa. Orang Tionghoa ataupun orang India yang diangggap non pribumi... Kenapa sampai begitu?" kata Siput kepada BBC Indonesia.

Mengapa masih ada istilah pribumi dan non pribumi di tempat saya lahir?











Upaya untuk menuntut hak juga dilakukan sejumlah penduduk Yogyakarta lain termasuk oleh Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, beberapa tahun lalu.

Komnas HAM sendiri memberikan rekomendasi kepada Gubernur Yogyakarta untuk mencabut kebijakan yang disebut 'diskiriminatif' itu.

"Seharusnya Yogyakarta sebagai salah satu daerah berbudaya di Indonesia telah menghapus kebijakan yang bernada diskriminasi. Kebijakan diskriminasi pada akhirnya hanya akan menghambat pembangunan di daerah tersebut," tulis Komnas melalui situs tertanggal 23 September 2015.

"Urusan ini sudah panjang sekali. Kami ke Komnas HAM sejak 2009 dan Komnas HAM keluarkan rekomendasi pada 2014," tambah Siput.

Siput juga bercerita tentang penduduk Yogyakarta lain, Handoko, yang menempuh gugatan uji materi ke Mahkamah Agung beberapa tahun lalu, namun ditolak karena "Surat Instruksi pada 1975 itu bukan produk undang-undang."
Tetapi Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta, Arie Yuriwin, mengatakan pihaknya menjadikan putusan MA sebagai yurisprudensi.

"Putusan MA atas gugatan para nonpribumi untuk memperoleh hak milik dimenangkan oleh pihak Keraton, sehingga keputusan MA kita jadikan sebagai yurisprudensi... Ketentuan wakil gubernur itu tetap berlaku di DIY," kata Arie kepada BBC Indonesia, Rabu (05/10).

Dapat disimpulkan bahwa Bapak Siput tidak dapat membeli tanah yang ada di Kulon Progo seluas 1.000 m2. Ia mengumpulkan uang untuk membeli tanah hak milik dan tanah tersebut dipaksa untuk dirampas dikembalikkan ke negara dan diberi hak sewa. Hal ini sangat menyangkut adanya diskriminasi kepada warga Non Pribumi.

  • Opini
Seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia tidak membedakan antara warga Pribumi dengan warga Non Pribumi. Memang seharusnya kita menyatu dengan menjadi "warga Negara Kesatuan Republik Indonesia". Tidak seharusnya diskriminasi terus terjadi di negara Indonesia. Karena jika diskriminasi terus terjadi, negara kita dapat terpecah belah.

  • Solusi
1. Satukan pikiran bahwa kita semua sama di mata Tuhan.
2. Tidak boleh membedakan kita dengan yang lain.
3. Tidak boleh membandingkan diri kita dengan yang lain secara negatif.
4. Keep the Positive Mental and Attitude di dalam pikiran kita.
5. Tegakkan hukum di negara kita secara sama dan rata.


Muhammad Adli Nur Sofyan
14116672





Tuesday, 3 January 2017

Agama dan Masyarakat








Pada kesempatan ini saya akan membahas tentang Agama dan Masyarakat.

Dikutip dari Wikipedia, Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. 

Dikutip dari Wikipedia, Masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, di mana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.

Sekarang jika anda telah mengetahui arti dari topik yang akan saya bahas, maka kita akan lanjut ke artikel berita yang akan saya bahas.

     Sekelompok orang memprovokasi dan melakukan aksi pembakaran sejumlah kios dan sebuah mushala ketika sedang berlangsung shalat Id. Kala itu, memang ada dua kegiatan hampir bersamaan dari dua agama: kaum Muslim menggelar shalat Id dan Gereja Injili di Indonesia (GIDI) tengah mengadakan pertemuan juga. Berdasarkan laporan media yang sama-sama kita saksikan bahwa terjadi miskomunikasi sehingga kekerasan meletup. Akan tetapi, provokasi dan kekerasan seperti itu tidak dapat dibenarkan.

     Wakil Presiden memerintahkan aparat kepolisian mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan tersebut. Presiden juga memerintahkan kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Sutiyoso untuk mewaspadai potensi konflik yang akan terjadi di wilayah tersebut. 


Ketua Gereja Injili di Indonesia Cabang Tolikara dan perwakilan para pengungsi, ustaz Ali Muchtar, saling melakukan salam khas Papua di Markas Koramil 1702-11 Karubaga pada Rabu (22/7) 

       Dan, seperti konflik agama yang marak terjadi di negeri ini sejak lebih dari satu dekade lalu, ternyata tidak berakar pada agama itu sendiri. Konflik bukan karena persoalan agama, melainkan oleh faktor-faktor lain yang justru tak bertalian dengan agama. Agama justru menjadi sentimen yang selalu ditumpangi. Padahal, penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam konflik sungguh sangat destruktif karena bersifat ideologis. Sebab, simbol-simbol agama dapat dijadikan dasar legitimasi untuk melakukan tindakan apa saja.

  Dapat disimpulkan dari artikel tersebut bahwa agama bukanlah tameng untuk para kejahatan yang menyerang kegiatan-kegiatan agama, melainkan adanya faktor-faktor lain di luar agama itu sendiri. Terlihat bahwa adanya kerukunan antar umat beragama di dalam foto di atas.

  • Opini
Masyarakat Indonesia seharusnya sadar bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam perbedaan. Jika ada yang ingin memecah-belahkan negara kita ini dengan membawa nama suku, ras dan agama, kita seharusnya bersatu untuk menolak pemecah-belahan tersebut. Akhir-akhir ini banyak yang mengaitkan kejahatan atas nama agama itu sendiri. Faktanya, orang-orang yang mengatas-namakan agama dalam kejahatan itu tidak terlalu mengerti tentang agama mereka sendiri. 


  • Solusi
1. Dalami ilmu agama yang kita anut.
2. Jangan mudah terprovokasi oleh sumber berita yang tidak jelas.
3. Cari terlebih dahulu sumber berita yang kita baca apakah jelas atau tidak.
4. Bersatu untuk Indonesia walaupun berbeda rasa, suku dan agama.
5. Jadilah pribadi yang baik untuk agama, keluarga, masyarakat dan Indonesia.



Muhammad Adli Nur Sofyan
14116672